Ringkasan pokok pikiran Paul F. Knitter dalam buku "Pengantar Teologi Agama-agama"
Latar Belakang Biografi Paul Knitter
Paul Knitter lahir di Chicago 25 Februari 1939, dia merupakan anggota gereja Katolik yang pada saat usianya yang 13 tahun ia telah menjalani hidupnya sebagai seorang pendeta Katolik.
Pada tahun 1958 Knitter masuk dalam suatu oragnisasi Divine Word Misionaris yaitu suatu Lembaga misi terbesar di Katolik saat itu. Masuknya Knitter dalam lembaga ini menjadi titik awal berubahnya paradigma Knitter terhadap misi disaat ia dipengaruhi oleh keberadaan agama lain. Sebab masa itu Katolik memakai paradigma yang ekslusiv saat melakukan misinya, konsep eksklusiv ini memahami bahwa agama Kristen adalah satu-satunya agama yang terang, benar dan agama lain dipandang sebagai agama yang tidak benar atau penyebutan yang paling brutal ialah agama kafir. Agama lain dipandang sebagai agama yang sedikitpun tidak mengandung kebenaran. Inilah paradigma yang dipegang Knitter saat itu.
Namun saat masuknya Knitter dalam lembaga misi ini kemudian membuatnya kembali merenungkan model pemahaman yang eksklusiv, ia merasakan bahwa paradigma yang menganggap agama lain sebagai agama yang tidak benar atau kafir di anggapnya keliru, sehingga ia kemudian maju selangkah mengubah paradigmanya menjadi ekslusif-Kristosentris dan akhirnya menjadi pluralis yang teosentris.
Pendahuluan Buku
Agama Kristen Dan Agama-agama Lain
Pembahasan awal dalam buku ini mengurai kesadaran Knitter akan bagaimana setiap umat beragama seharusnya hidup. Obsesinya untuk mewujudkan Injil Kerajaan Allah perlahan-lahan mengalami pembiasan sebab pikirnya paradigma yang dipegang sebelumnya tidak bisa mengungkap masalah kebenaran yang hakiki. Umat Kristiani seharusnya mampu memahami realita kemajemukan dengan baik.
Sebelum Terobosan Konsili Vatikan II dan Pasca Konsili Vatikan II
Sebelum Konsili Vatikan II
Telah dikemukakan di atas bahwa sikap Gereja terhadap agama-agama lain sebelum Vatikan II menunjukkan sikap bersahabat dan tidak menampilkan agresivitas kekerasan. Sikap ini diwariskan kepada Bapa Gereja, seperti Ireneus, Origenes, Hippolitus, dan Gregorius Nazianse (sekitar abad ke-3). Mereka merefleksikan peranan agama-agama non-Kristen dalam rencana keselamatan universal Allah. Sikap positif ini kemudian meluntur ketika praktek kolonialisme dilancarkan, salah satu usahanya ialah mengganti kebudayaan pribumi dengan kebudayaan Eropa, termasuk agama sehingga pewartaan misionaris identik dengan invasi kubudayaan Eropa. Ditambah lagi dengan muculnya aliran/ordo Jansenisme yang mempropogandakan bahwa di luar Gereja tidak ada keselamatan, dikenal dengan istilah Extra Ecclesiam Nulla Salus yang mendapat simpati luas pada abad ke-18 hingga 1936. Dengan demikian, sikap eksklusivisme Gereja Katolik muncul sekitar abad 18-19 M. Menurut John Hick, doktrin extra ecclesiam nulla salus menekankan bahwa hanya orang Katolik yang dapat diselamatkan.
Ada tiga pendapat mengenai awal mula sikap eksklusif Kristenterhadap agama-agama lain, pertama, dimulai pada abad pertengahan ketika Bangsa Eropa mulai mempraktekkan Kolonialisme (abad ke-16, namun secara intens terjadi pada abad 18-19), Kedua, dimulai sejak awal perkembangan agama Kristen ketika berjumpa dengan filsafat Yunani (abad ke-2), dan ketiga, sejak diadakannya Konsili Florence pada abad ke-15.
Pasca Konsili Vatikan II
Sikap Gereja terhadap agama lain pasca Konsili Vatikan II lebih terbuka, dialogis dan telah benar-benar menghilangkan sikap eksklusif mereka. Hal tersebut ditandai dengan dikeluarkannya dokumen Nostra Aetate yang berisi sikap Gereja terhadap agama non-Kristen. Jika diperhatiakn, sikap toleran Gereja terhadap agama lain pasca Konsili Vatikan II tidak jauh berbeda dari sebelumnya. Kristus merupakan kepenuhan dari agama -agama lain, dengan kata lain agama-agama yang bukan Kristen ̶ walaupun eksistensinya diakui oleh Gereja ̶ memerlukan Kristus sebagai jalan Final menuju keselamatan,
Knitter membagi empat model pendekatan Kristen terhadap agama-agama lain:
1. Model Penggantian (Hanya Satu Agama Yang Benar)
Model penggantian menghormati perbedaan yang ditemui dalam agama-agama lain, namun tujuannya menghilangkan dan menggantikannya dengan tradisi Kristen (eksklusivisme). Agama Kristen diciptakan untuk menggantikan semua agama lain. Sikap ini juga dominan dan pada umumnya dianut sepanjang sebagian besar sejarah agama Kristen. Di dalam model ini, Allah menghendaki hanya satu agama, yaitu agama Kristen.
Model penggantian terbagi lagi menjadi beberapa;
Penggantian Total Yakni agama Kristen diciptakan untuk mengganti semua agama lain
Penggantian Pasrial
Model ini lebih halus dalam memandang agama-agama lain, perbedaannya dengan pergantian total terletak pada masalah wahyu. Menurut mereka yang beraliran penggantian parsial bahwa wahyu Allah ada dan tersebar dalam agama-agama lain yang disebut sebagai “wahyu/ rahmat penciptaan” atau “wahyu umum”. Meskipun wahyu Allah ada pada agama-agama lain, Allah tidak memberi keselamatan di dalam agama-agama lain dengan alasan kesaksian Perjanjian Baru yang menyatakan bahwa keselamatan dibawa dan diperkenalkan hanya oleh Yesus Kristus.
2. Model Pemenuhan (Yang Satu Menyempurnakan Yang Lain)
Model pemenuhan merupakan satu langkah ke depan dalam usaha agama Kristen membangun satu pemahaman yang berimbang tentang agama-agama lain. Model ini menawarkan satu teologi yang dapat memberikan bobot yang sama kepada dua keyakinan dasar Kristen yaitu, bahwa kasih Allah itu universal, diberikan kepada semua bangsa, namun kasih itu juga partikular yang hanya diberikan secara nyata di dalam Yesus Kristus. dengan kata lain model ini beranjak pada pemahaman bahwa “Yang Satu Menyempurnakan Yang Lain”
3. Model Mutualitas (Banyak Agama Terpanggil Untuk Berdialog)
Bagi model ini, dialog dengan agama-agama lain merupakan satu kewajiban etis, sebab dialog merupakan bagian mutlak dari kewajiban mengasihi sesama. Oleh karena itu, apa yang dijumpai umat Kristen di dalam berbagai tradisi agama lain yang begitu luas bukan hanya keragaman tetapi mitra dialog yang potensial. Atas dasar itu, hubungan lebih penting dari pada pluralitas. Hubungan tersebut harus mutual, artinya hubungan dan percakapan dua arah yang memungkinkan kedua belah pihak saling berbicara dan mendengarkan, terbuka untuk belajar dan berubah.
4. Model Penerimaan (Banyak Agama Yang Benar: Biarlah Begitu)
Bagi model ini, perbedaan antar agama bukan hanya pada bahasa, melainkan, lebih jauh lagi, menyangkut tujuan terakhir dan “pemenuhan” dalam setiap agama. Agama-agama bukan hanya berbeda dalam bentuk, tetapi juga berbeda dalam tujuan dan keselamatan. Maka dalam model ini kita harus menerima suatu kenyatan perbedaan itu.
Konklusi Yang Inkonklusi
Akhir dari uraian dalam buku ini ialah konklusi yang inkonklusi. Knitter telah menyadarkan akan kejanggalan dari kaum Kristiani yang mempermasalahan seputar pluralism. Kemajemukan agama dianggap sebagai tantangan yang dihadapi oleh umat Kristiani. Padahal konklusi ini menurut Knitter merupakan suatu konklusi yang Inkonklusi sebab kenyataannya bahwa kemajemukan juga ada dalam tubuh kekristenan, pandangan teologi dan model Kristiani yang majemuk adalah juga membingungkan sekaligus merupakan tantangan internal umat Kristiani.
Knitter kemudian menyediakan jawaban seputar permasalahan kemajemukan dalam diri kekristenan dan sekaligus menawarkan usulan bagi kekristenan yang mempersoalakan pluralism agama. Misalkan pentingnya dialog intra-Kristiani dan pentingnya kerja sama antar-agama.
Demikian ringkasan singkat dalam buku “Pengantar Teologi Agama-agama, karya Paul F. Knitter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar