Pastoral Dan Rendah Diri

A.    Pendahuluan
Pastoral Kepada Orang Yang Rendah Diri
Inferiority complex merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut konsep diri yang rendah. Orang yang menderita “penyakit” rendah diri bersikap amat negative, tidak menyukai diri sendiri dan pesimis tentang kemungkinan untuk menjadi manusia yang diidamkan.[1] Sikap inferior menjadi penyakit yang cukup serius dikalangan masyarakat, sebab seseorang yang memiliki kepribadian inferior atau sikap minder akan memiliki presentase bergaul, berbaur yang sangat minim dengan lingkungan yang dijumpainya. Sehingga mereka yang bereksistensi dengan sikap ini akan menjadi orang yang sulit dijangkauh dan sulit melakukan interaksi atau merespon hal-hal yang dijumpainya dengan baik. Sikap ini akan menimbulkan perilaku anti sosial, dimana mereka lebih memilih menjauh dari khalayak keramaian, dikarenakan sikap yang selalu merasa diri rendah dibanding orang lain; malu, takut, ragu-ragu dan sejenisnya adalah indikasi dari sikap ini, sehingga terjadi hambatan untuk mengembangkan suatu perilaku.
Salah satu fenomena sikap rendah diri hadir di Kecamatan Masanda, desa Pauan tepatnya di jemaat Eben-Haezer Pauan, ada beberapa anggota jemaat yang bereksistensi dengan perilaku ini, yakni hidup jauh dari khalayak masyarakat gereja. Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada majelis gereja dan pengamatan di lapangan, beberapa anggota jemaat di Pauan secara khusus dalam kehidupan atau aktivitas kegerejaanya tidak menampakkan perilaku yang aktif dalam kehidupan kegerejaan, seperti tidak mengikuti ibadah komunal pada hari Minggu, ibadah rumah tangga dan kegiatan-kegiatan rohani yang diselenggarakan oleh gereja. Hasil wawancara kepada majelis; penyebab dari perilaku ini ialah rasa malu yang berlebihan ini menjadi indicator sikap rendah diri atau minder yang ada dalam dirinya.
Persoalan ini tentu mempengaruhi aspek sosial pada tubuh gereja, misalkan saja, rasa solider yang tereduksi akibat perilaku yang pasif, keikutsertaan dalam berpartisipasi pada kegiatan kegerejaan yang minim, dan banyak hal lain yang berdampak pada gereja sebagai komunitas yang dipanggil Tuhan untuk bersekutu. Hal ini akan menciderai sifat yang hakiki dari gereja sebagai kesatuan yang komunal. Sebab gereja adalah suatu komunitas yang hidup, berjalan, berjuang, beraktifitas secara bersama-sama dan masalah yang sangat serius ialah, sikap Inferior akan menyebabkan mereka lebih dekat pada kehidupan, aktifitas keduniawian. Seperti pada kasus di jemaat Eben-Haezer Pauan, mereka yang terjangkit oleh sikap ini lebih memilih aktivitas kesehariannya seperti bekerja di kebun atau tidur dirumah dibanding berkumpul beribadah pada hari Minggu, perilaku ini menjadi kompensasi bagi diri mereka untuk mencari kepuasan atau pemenuhan kenyamanan bagi diri mereka untuk mengantikan perilaku yang terhambat.
Orang-orang yang menderita rasa malu jiwanya seperti terbelah. Dalam diri mereka ada dorongan untuk melakukan hal-hal yang baik dan perlu. Tetapi merekan sekaligus merasakan ada sesuatau kekuatan yang menahan.[2]
Rasa malu ini mengakibatkan seseorang menarik dirinya dari khalayak masyarakat sehingga memilih untuk menyendiri dan sulit untuk bergaul dengan orang-orang baru yang dijumpainya, perilaku-perilaku ini sudah pasti menjadi penyakit sosial yang sering disebut sebagai sikap anti sosial, menjauhkan diri dari pergaulan dan menjadi indicator adanya perilaku rendah diri atau inferiority compleks.
Teori
Seseorang yang selalu merasa diri rendah diharapkan dapat memecahkan masalah pada dirinya untuk menerima setiap keadaan dan berkembang berdasarkan pemahaman nilai-nilai  Alkitab.
Larry Crabb dalam buku konseling yang efektif dan Alkitabiah, menyebut bahwa “sasaran dari konseling Alkitabiah adalah untuk memperkenalkan kedewasaan Kristen, untuk menolong orang-orang memasuki suatu pengalaman yang lebih dalam tentang penyembahan dan suatu kehidupan pelayanan yang lebih efektif”. (Crabb,1995:27).[3]
Menurut Adler ada tiga kategori yang dapat mendorong perkembangan perasaan inferioritas yang berlebihan pada anak: (1) cacat fisik, (2) dinamika keluarga, dan (3) pengaruh-pengaruh masyarakat (Alder, 1992a)[4]. Inferiority compleks (rasa rendah diri) merupakan perasaan harga diri rendah yang terdapat pada seseorang. Perasaaan ini menyebabkan ia selalu menjauhkan diri dari orang lain, perasaan ini disebabkan oleh pendidikan yang salah pada masa kanak-kanaknya (Qohar, dkk: 109).[5]
Pengalaman-pengalam buruk di masa lalu menjadi bayang-bayang yang menghambat suatu perilaku yang positif berkembang, sehingga menjadi suatu alaram yang buruk untuk eksis di lingkungan dimana ia ada.
B.     HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Hasil Penelitian

Fenomena penyakit sosial merupakan masalah yang tidak akan pernah ada habisnya untuk dibicarakan, faktanya penyakit sosial masih tetap eksis sampai hari ini dan selalu menjadi lawan yang harus diperangi secara bersama-sama, sebab jika tidak demikian penyakit sosial akan merongrong kesejahteraan hidup suatu komunitas masyarakat. Beberapa fenomena penyakit sosial yang tetap eksis sampai hari ini seperti pengangguran dan demoralisasi. Ada banyak factor penyebab munculnya berbagai penyakit sosial salahsatunya pengaruh rendah diri atau inferiority compleks. Keadaan ini menyebabkan orang terkadang tidak produktif di tengah masyarakat walaupun tidak semua keadaaan itu membawa seseorang pada situasi ini, sebab ada juga orang yang merasa diri tidak mampu/selalu minder namun menjadi pribadi yang unggul sebab terjadi kompensasi yang ekstrem untuk menggantikan perilaku yang terhambat itu.
Berdasarkan hasil wawancara, penyebab munculnya kepribadian inferiority complex atau rendah diri pada anak di desa ini disebabkan oleh beberapa factor, seperti; jarak yang cukup jauh dari keramaian (jauh dari jalan poros), sekitar 9-10 Km (sebab masih berada pada kawasan hutan lindung) yang mengakibatkan kurangnya mental bergaul dengan orang lain, munculnya perasaan dari dalam  diri bahwa mereka berasal dari pelosok sehingga ada kesan di dalam diri yang mencoba mempengaruhi bahwa mereka berbeda dengan anak-anak lain dan menurut narasumber keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki anak di tempat ini ialah rata-rata menempu jenjang pendidikan hanya sebatas sekolah dasar sehingga ada yang tidak mampu membaca huruf[6]. Maka dapat disimpulkan bahwa ada keterbatasan dalam hal kognitif dan menjadi suatu indikasi pengaruh munculnya sikap rendah diri. Sikap merasa berbeda dan memiliki keterbatasan menjadi stigma dalam diri sehingga mengaktualisasikan diri ditengah masyarakat sulit terjadi karena stigma ini.
Kasus seorang anak yang bernama Tato tak mau bersekolah lagi karena malu/minder untuk bergaul. Sejalan dengan narasumber awal, keterangan dari orang tua mengatakan bahwa factor penyebab anaknya untuk tidak mau melanjutkan pendidikan ialah rasa malu yang berlebih, malu bergaul dengan teman-teman yang baru di sekolah membuatnya berhenti melanjutkan sekolahnya.[7] tentu persoalan ini tidak diharapkan oleh setiap orang tua terhadap anak-anaknya. Papa Menda sebagai orang tua telah memaksa/mendorong anaknya untuk kembali bersekolah namun usaha itu tetap tidak berhasil. Berdasarkan pengamatan sekitar dua bulan di lokasi PELJEM dan berdasarkan komunikasi yang dibangun oleh narasumber ditempat ini, bahwa banyak pemuda yang tidak mampu membaca tulisan-tulisan dikarenakan tidak mau bersekolah. Ini menjadi potensi hadirnya sikap rendah diri yang kemudian didukung dengan perilaku yang sulit untuk bergaul. Keterbatasan dalam hal kognitif menjadi pemicu lahirnya sikap-sikap rendah diri.
Fenomena seperti ini menjadi tamparan bagi gereja, sebab gereja yang eksis ditempat ini menjadi gagal ketika hal-hal seperti ini hadir di sekitarnya. Gereja (Pemimpin gereja) dianggap gagal mengembalakan  ketika fenomena ini berkembang di lingkungan dimana ia ada. Maka seharus seorang gembala aktif berperan dalam memerangi masalah ini. Dari hasil pengamatan dan percakapan selama kurang lebih dua bulan di lokasi PELJEM (pelayanan jemaat) hal yang paling ironi ialah sikap gereja seolah-olah pasif ketika menjumpai fenomena ini. Indikasihnya ialah belum adanya usaha-usaha yang nampak secara konkret untuk mengatasinya,  seperti mengarahkan orang tua, membimbing anak-anak dalam komunitas gereja. Dan perlu untuk dipahami ialah organisasi gerejawi seperti PPGT (Persekutuan Pemuda Gereja Toraja) di jemaat ini tidak begitu bertumbuh, kumpulan/persekutuan seolah-olah tenggelam, padahal ini menjadi wadah pembinaan bagi kalangan muda-mudi. Pengamatan saat melakukan aktivitas PELJEM, indikasi-indikasi yang terlihat/nampak melalui pengamatan beberapa anak sulit/tidak mau untuk tampil di muka umum, seperti bernyanyi bersama di panggung gereja dan juga kesulitan untuk bergaul dengan teman baru. Indikasi-indikasi ini masuk dalam kategori inferiority complek atau pribadi yang meras rendah diri.
Orang yang rendah diri berarti menganggap diri sendiri tidak mempunyai kemampuan yang berarti. Seperti yang dikatakan oleh Adler, bahwa rasa rendah diri berarti perasaan kurang berharga yang timbul karena ketidakmampuan psikologis atau sosial maupun karena keadaan jasmani yang kurang sempurna. Perasaan rendah diri tidak timbul dengan sendirinya. Ada dua factor, seperti factor interen, yaitu penyebab yang berasal dari diri sendiri, seperti cacat tubuh, susah berkomunikasi. Kemudian factor ekstren, yaitu penyebab yang bersal dari luar, seperti ekonomi orang tua lemah, orang tua yang bercerai, keluarga sering cekcok.[8]
Pembahasan
Rendah Diri atau Inferiority Kompleks
Rasa rendah diri atau minder atau low self-esteem atau condescending, adalah perasaan bahwa seseorang lebih rendah dibanding orang lain dalam satu atau lain hal. Perasaan demikian dapat muncul sebagai akibat sesuatu yang nyata atau hasil imajinasinya saja. Rasa rendah diri sering terjadi tanpa disadari dan bisa membuat orang yang merasakannya melakukan kompensasi yang berlebihan untuk mengimbanginya, berupa prestasi yang spektakuler, atau perilaku antisosial yang ekstrem, atau keduanya sekaligus. Tidak seperti rasa rendah diri yang normal, yang dapat mendorong pencapaian prestasi, kompleks rasa rendah diri adalah berupa keadaan putus asa parah, yang mengakibatkan orang yang mengalaminya melarikan diri saat mengalami kesulitan. Saat lahir - setiap orang lahir dengan perasaan rendah diri karena pada waktu itu ia tergantung pada orang lain yang berada di sekitarnya[9].
Mengenai perasaan inferioritas, Alder mengemukakan dua sumber inferioritas yaitu inferioritas fisik dan inferioritas psikologis. Inferioritas fisik adalah rasa tidak lengkap oleh karena adanya kekurangan dalam tubuh. Dalam praktik kedokteran, Alder tertarik untuk menemukan jawaban: mengapa orang yang terserang penyakit tertentu akan berusaha mengatasinya. Ia menemukan bahwa gangguan pada tubuh sebenarnya merupakan inferioritas dasar yang timbul karena hereditas atau kelainan dalam perkembangan. Contoh terkenal adalah Demosthenes seorang yang gagap ketika kanak-kanak, namun berkat latihan yang keras kemudian menjadi orator yang ulung yang terkenal. Sedangkan inferioritas psikologis yaitu perasaan-perasaan inferioritas yang bersumber pada rasa tidak lengkap atau tidak sempurna dalam setiap bidang kehidupan[10]. Untuk memperjelasnya beberapa sebab yang membuat orang menjadi minder. Ada rasa minder fisik, yang diakibatkan oleh cacat tubuh, seperti kegemukan, gigi tidak rapi, tangan lumpuh kaki timpang. Ada rasa minder mental yang diakibatkan oleh hal-hal seperti daya tangkap rendah, bakat rendah, kemampuan sedikit. Ada rasa minder sosial yang diakibatkan oleh perlakuan orang lain atau masyarakat dimasa lampau yang tidak wajar. Seseorang dapat terjangkit rasa minder karena sejak kecil selalu terpojok dan tidak mendapatkan perlakuan yang semestinya.[11]
Rasa rendah diri yang sebenarnya dapat timbul karena anak selalu disalahkan dan selalu dikata-katai bahwa ia anak bodoh dan sebagainya. Hal tersebut bias juga karena cara-cara didik yang serba memerintah, menghukum, melarang dan sebagainya yang bersifat otoriter. Disamping itu rasa rendah diri dapat muncul karena anak gagal dalam mengerjakan sesuatu atau merasa tidak memiliki kemampuan untuk mengatasi suatu kesulitan. Yang terakhir rasa rendah diri dapat timbul jika anak merasa memiliki kekurangan atau cacat (kekurangan, ekonomi atau cacat badan dan sebagainya)[12].
Konseling Alkitabiah
Konseling Alkitabiah menjadi konsep yang tepat bagi kaum muda-mudi gereja yang selalu merasa diri rendah. Karena dengan konseling ini sikap rasa rendah diri atau inferiorty kompleks yang muncul di jemaat dapat tereduksi atau bahkan sembuh. Ajaran akan nilai-nilai Alkitab dianggap tepat untuk mempastorali anggota jemaat yang selalu merasa rendah diri, sebab akan mampu mengubah persepsi-persepsi yang buruk dari dalam dirinya dan menjadi pribadi yang mampu mengaktualisasikan diri di dalam lingkungan gereja.
Setiap orang Kristen dipanggil dan disiapkan oleh Allah untuk menjadi saluran kasih Allah dan perpanjangan tangan-Nya, untuk memberikan nasihat atau bimbingan. Bahkan, beberapa orang Kristen telah dipanggil secara khusus dan diberi karunia untuk membimbing orang lain yang mengalami masalah. Pada dasarnya, konseling Kristen semata-mata adalah tindakan kasih. Jadi, proses konseling Kristen harus didasari oleh kasih. Apabila konselor tidak mengasihi konseli, mana mungkin ia bisa menjadi saluran kasih karunia Allah kepada konseli[13] Prinsip dari konseling pastoral kristen haruslah berpusat pada “otoritas Alkitab”. Secara mudah prinsip dasar dari konseling pastoral kristen adalah konseling dengan pendekatan yang Alkitabiah. Pendekatan Alkitabiah untuk konseling pastoral haruslah relevan dan tidak mengabaikan aspek pendukung lainnya, misalnya, psikologi umum yang tentunya tidak menyimpang dari dasar pemikiran Alkitab. Dengan demikian pendekatan ini mampu secara realistis menghadapi dalamnya masalah-masalah orang, dan dengan jujur mengevaluasi keberhasilannya dalam mengatasi masalah tersebut dan yang terpenting tidak menyimpang dari kebenaran Alkitab.[14]
Tujuan pelayanan konseling tidak hanya cukup sampai menolong konseli keluar dari masalah namun mencapai tujuan utama yaitu perubahan hidup konseli dan hidup menyenangkan Tuhan sehingga menjadi  serupa dengan Yesus Kristus. Perubahan hidup merupakan sasaran utama dalam pelayanan konseling. Seperti dijelaskan Howard Clinebell bahwa, “Konseling dapat membuka kesadaran baru, memperbaiki pandangan mata hati kita yang dahulu menjadi buta karena kecemasan, kepedulian pada diri sendiri yang dibenahi oleh rasa bersalah akan segalah keindahan, tragedy, keajaiban dan kesakitan orang”[15]
Yakub Susabda mengemukakan ada enam unsur-unsur utama yang harus diketahui oleh konselor supaya dapat terciptanya suasana konseling yang ideal, yakni: pertama understanding (sikap penuh perhatian dari pihak konselor). Kedua, empati (sikap positif konselor kepada konseli yang di ekspresikan melalui kesediaan dan kemampauannya untuk menempatkan diri pada tempat konseli, merasakan apa yang dirasakan konseli, mengerti dengan pengertian konseli). Ketiga, Acceptance (sikap menerima konseli apa adanya). Keemapat, Listening (kemampuan dan kesediaan mendengar secara professional). Keliama, Reflective Listening (merefleksikan apa yang sudah didengar). Keenam, Resphonding.[16]
Pastoral Konseling Alkitabiah kepada sikap Rendah Diri
Sebagaimana kita ketahui bahwa konseling pastoral lebih menekankan pendekatan individu daripada pendekatan kelompok, tetapi tujuannya adalah agar individu dapat mengembangkan diri dan befungsi dalam kelompoknya dan hal ini disadari betul dalam konseling pastoral. Konseling pastoral menyadari bahwa kesulitan individu berarti kesulitan sosial, artinya penyesuaian sosial merupakan hal yang mendasar dalam diri individu, karena sesorang harus hidup dan bergerak dalam dunia yang berisi orang lain pula. Misalnya dalam masalah kecemasan yang ditangani melalui konseling pastoral, individu dimampukan untuk bergaul dan menjalin hubungan dengan orang lain dan dunia sosial[17]
Rendah diri menjadi persoalan yang tidak boleh disepelehkan oleh para pemimpin gereja, sebab sikap ini akan memberi dampak yang buruk baginya. Rendah diri atau inferiority kompleks yang terjadi pada seseorang tentu mengakibatkan orang tersebut berada pada persoalan yang cukup rumit dalam menjalani hidup ditengah masyarakat secara khusus masyarakat gereja. Sebagai seorang gembala maka seharunya persoalan-persoalan ini harus teratasi dan tidak boleh didiamkan begitu saja. Masalah yang penting dari seseorang yang mengalami hal ini ialah tidak mampu eksis pada aktivitas gerejawi, seperti tidak mau mengikuti kebaktian pada hari Minggu, sulit tampil dimuka umum dan sulit bergaul dengan orang baru yang dijumpainya, seperti pada kasus di desa Pauan Tondok Tua jemaat Eben-Haezer. Ini menjadi alasan mengapa gereja tidak boleh apatis terhadap persoalan rendah diri.
Orang-orang yang dihinggapi oleh rasa rendah diri ini sedikit demi sedikit dapat sembuh dan bebas dari gangguan penyakit mereka dengan memulai berusaha untuk mengenal diri sendiri dan menerima dengan tenang[18]. Pengembalaan yang harus dilakukan untuk menghadapi masalah rendah diri atau inferiority kompleks kepada anak yang mengalaminya adalah dengan melakukan suatu pendekatan-pendekatan secara pribadi, membangun relasi yang kokoh dan senyaman mungkin agar tumbuh suatu rasa saling percaya. Ketika rasa saling percaya telah tumbuh maka itu menjadi moment yang tepat untuk membimbing secara perlahan kepada kesadaran untuk mengaktualisasikan dirnya pada lingkungan persekutuan gereja.
Dalam melaksanakan pelayanan konseling Cyntia V. MacDonald juga memberikan empat prinsip yang perlu diperhatikan konselor dalam proses konseling: (1) menyediakan diri, artinya menyediakan diri untuk bersama-sama untuk meluangkan waktu bagi konseli (2) mendengarkan dengan efektif, artinya melibatkan interaksi dengan orang yang bersangkutan dan menghormati perasaanya. (3) memberi jalan keluar supaya konseli dapat mengambil keputusan. (4) bertekad untuk melakukan tindakan, artinya konselor memberi motivasi dan semangat kepada konseli untuk bertindak kepada perubahan hidup. Kedua hal ini merupakan perhatian khusus dalam pelayanan konseling yang dilakukan Yesus.[19]
Pengembalaan melalui konsep konseling Alkitabiah yakni dengan memberikan motivasi-motivasi yang menekankan ajaran-ajaran Alkitab kepada konseli dapat mengubah stigma negative terhadap konseli yang rendah diri, sehingga tahap mengaktualisasi diri dapat terjadi serta kesadaran akan telenta yang diberikan Tuhan dapat dialami

C.     Penutup
Kesimpulan
Kepribadian inferiority kompleks atau rendah diri menjadi persoalan yang cukup serius untuk direspon. Rasa malu yang berlebihan, sulit bergaul dengan orang lain sebab merasa berbeda dengan orang-orang disekitarnya menjadi masalah yang harus diselesaikan oleh gereja (gembala). Rasa solider tereduksi serta aktualisasi diri tidak terjadi adalah penyakit-penyakit sosial yang dapat menumbuhkan masalah baru. Maka seorang pastor harus melakukan suatu penangan berupa pengembalaan dalam lingkup gereja dengan penekanan pengajaran nilai-nilai Alkitab pada seseorang yang rendah diri, supaya ada kesadaran dalam memahami secara positif bahwa dirinya mampu beraktualisasi di masyarakat serta menerima dirinya sepenuhnya bahwa iya adalah mahkluk ciptaan Tuha yang berharga serta memiliki talenta.
Membangun relasi secara personal dengan baik perlu ditekankan, supaya tercipta suatu iklim yang baik dalam mengembalakan.

Saran: dalam menghadapi seseorang/anggota jemaat yang berada pada sikap inferior, maka seorang gembala seharusnya membangun relasi secara personal kepada orang tersebut. Harapannya ialah, terjadinya hubungan yang karib untuk mendorong orang tersebut mampu hidup dengan percaya diri. Nilai-nilai Alkitab harus menjadi penekanan.
Daftar Pustaka
Paul J Centi, Mengapa Renda Diri?, (Yogyakarta: Kanisius, 2013)

A.M. Mangunhardjana, Mengatasi Hambatan-hambatan Kepribadian (Yogyakarta: Kanisius, 2006)

Sherly Ester Kawengian,Prinsip-prinsip Dasar Konseling Kristen, www.e-jurnal.ukrimuniversity.ac.id

Yustinus Semiun, Teori-teori Kepribadian Psikoanalitik Kontemporer, (Yogyakarta: Kanisius, 2013)

Ninik Ruyanti, Konsep Inferiority Kompleks Adler dan Implikasinya Pada Jiwa Keagamaan Anak: Tinjauan Konseling Keluarga Islam, (Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri Wali Songo Semarang:Skripsi, 2008) 1
Simon (seorang majelis gereja)

Rudi Mulyatiningsih, Sunu Pancarianto, Kuswadi Yohanes, Menik, Bimbingan Pribadi-Sosial, Belajar Dan Karier, (Jakarta: Gramedia, 2004)


Ladislaus Naisaban, Para Psikolog Terkemuka Dunia, (Jakarta: Grasindo, 2004)

Suhartin, Smart Parenting, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010)

Konselor Yang Alkitabiah, diakses 15 Jan 2013 https://c3i.sabda.org/konselor_yang_alkitabiah

Aletheia, Konseling Pastoral Kristen, di akses 21 Mei 2017 https://feritimotius.wordpress.com/2017/05/21/konseling-pastoral-kristen/

Selvianti, Menerapkan Prinsip Pelayanan Konseling berdasarkan Injil Yohanes, Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Kontekstual, Vol1 (Mengkendek: Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri, Des 2018)

Junius Halawa, Pastoral Konseling Psikologi Alkitabiah Bagi Perempuan yang melakukan Hubungan Seks Sebelum Menikah, (Missio Ecslessia)



[1] Paul J Centi, Mengapa Renda Diri?, (Yogyakarta: Kanisius, 2013) 13-14
[2] A.M. Mangunhardjana, Mengatasi Hambatan-hambatan Kepribadian (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 18
[3] Sherly Ester Kawengian,Prinsip-prinsip Dasar Konseling Kristen, www.e-jurnal.ukrimuniversity.ac.id
[4] Yustinus Semiun, Teori-teori Kepribadian Psikoanalitik Kontemporer, (Yogyakarta: Kanisius, 2013) 288
[5] Ninik Ruyanti, Konsep Inferiority Kompleks Adler dan Implikasinya Pada Jiwa Keagamaan Anak: Tinjauan Konseling Keluarga Islam, (Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri Wali Songo Semarang:Skripsi, 2008) 16
[6] Simon (seorang majelis gereja)
[7] Pa Menda (orang tua dari anak yang putus sekolah)
[8] Rudi Mulyatiningsih, Sunu Pancarianto, Kuswadi Yohanes, Menik, Bimbingan Pribadi-Sosial, Belajar Dan Karier, (Jakarta: Gramedia, 2004) 37-38
[10] Ladislaus Naisaban, Para Psikolog Terkemuka Dunia, (Jakarta: Grasindo, 2004) 7
[11] Ibid, Mengatasi Hambatan-hambatan kepribadian, 28
[12] Suhartin, Smart Parenting, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010) 32
[13] Konselor Yang Alkitabiah, diakses 15 Jan 2013 https://c3i.sabda.org/konselor_yang_alkitabiah
[14] Aletheia, Konseling Pastoral Kristen, di akses 21 Mei 2017 https://feritimotius.wordpress.com/2017/05/21/konseling-pastoral-kristen/
[15] Selvianti, Menerapkan Prinsip Pelayanan Konseling berdasarkan Injil Yohanes, Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Kontekstual, Vol1 (Mengkendek: Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri, Des 2018) 256
[16] Junius Halawa, Pastoral Konseling Psikologi Alkitabiah Bagi Perempuan yang melakukan Hubungan Seks Sebelum Menikah, (Missio Ecslessia) 291
[17] Marten Nainupu, Konseling Pastoral Dalam Gereja: Res Sine Qua Non, Jurnal Teologi Aletheia,(STT Aletheia) 88
[18] Ibid, Mengatasi Hambatan-hambatan kepribadian, 29
[19] Ibid, Menerapkan Prinsip Pelayanan Konseling berdasarkan Injil Yohanes, 265

2 komentar:

  1. bisa dipoles untuk disubmit di OJS IAKN Toraja

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maaf baru baca Pa, saya jarang skali buka blog saya..
      Sy senang jika seperti itu dn buat sy semangat untuk menulis lagi.. Saya harus edit bagian mana Pa?? Makasih banyak Pa

      Hapus

Khotbah tema kerusakan lingkungan

     Kerusakan lingkungan hidup jarang untuk kita sadari, sekali pun bencana datang tak juga kita kunjung menyadari. Mungkinkah karena tidak...