ANTROPOLOGI SUKU BATAK
Suku Batak memiliki kepercayaan seperti mitologi yang bukan merupakan legenda belaka untuk suku Batak, hal ini sangat mempengaruhi system adat istiadat Batak, bahkan masih mempengaruhi cara berpikir suku Batak sampai masa kini, antara lain tentang pendapat bahwa manusia tidak dapat menentukan nasibnya sendiri, sekalipun dia sangat mengiginkannya. Tentang asal-usul suku Batak hinggah kini masih belum dapat dipastikan oleh para sejarawan maupun para antropologi. Banyak penulis yang telah mengungkapkan pendaptnya tentang hal ini, namun semuanya berbeda-beda. Timbulnya perbedaan ini mungkin dikarenakan belum adanya peninggalan sejarah yang dapat dijadikan sebagai bukti untuk memastikan darimana asal-usul dari suku Batak. Disamping itu, ada juga sebagian orang Batak yang berpegang pada mitologi yang menceritakan tentang asal-usul suku bangsa Batak. Dalam agama suku Batak/Batak kuno, terdapat mite-mite yang dipercayai sebagai permulaan nenek moyak suku Bangsa Batak Kuno, yaitu; dari empat telur, dalam empat telur itu lahirlah empat orang laki-laki dan tiga diantaranya menjadi permulaan nenek moyang suku bangsa Batak. Berikut akan dikemukakan beberapa asas berpijak mengenai asal-usul suku Batak, dari kajian sejarah dan antropologi serta tinjauan dari segi mitologi.
a. Kajian Menurut Sejarah dan Antropologi
Suku Batak adalah salah satu suku bangsa yang temasuk dalam rumpun melayu atau Indonesia tua dan mungkin termasuk suku yang tertua di Sumatra (khususnya) dan di Indonesia pada umumnya. Namun ada juga sebagian yang berpendapat bahwa orang Batak sudah ada disana sejak 800-1000 tahun yang lalu. Mereka mendapat angka itu dari peringkat urutan dari keturunan marga-marga Batak yang ada, namun pemerhati lainnya menduga bahwa suku Batak sudah ada lebih dari 1500-2000 tahun yang lalu. Dan pendapat lain mengatakan bahwa suku Bangsa Batak berasal dari pegunungan Telah, tiba di tanah Batak lebih dari 1000 tahun sebelum Masehi. Kedatangan imigran itu berlangsung dalam tiga gelombang (tahap). Gelombang pertama/imigran itu mendarat di pulau Nias, Mentawai, Siberut, dan lain-lain. Gelombang kedua mendarat di muara sungai Simpang dan gelombang ketiga mendarat di muara sungai Sokram. Dari sana mereka memasuki pegunungan hinggah suatu ketika sampai di danau Toba dan menetap di kaki gunung Pusuk Buhit.
Suku Batak terbagi dalam enam subsuku yaitu Batak Toba, Angkola, Mandailing, Simalungun, Pakpak dan Karo. Keenam suku ini sama-sama mengakui bahwa mereka adalah keturunan dari Si Raja Batak atau nenek moyang orang Batak. Ada juga yang mengatakan bahwa suku Batak yang ada di Asahan adalah salahsatu suku-suku Batak yang disejajarkan dengan suku-suku yang enam itu.
b. Mitologi Batak
Mitologi
Batak adalah kepercayaan tradisional akan dewa-dewi yang dianut oleh orang Batak. Agama Batak tradisional sudah hampir menghilang pada saat ini, begitu juga dengan mitologi Batak. Kepercayaan Batak tradisional terbentuk sebelum datangnya Islam dan Kristen oleh dua unsur yaitu megalitik kuno dan unsur Hindu yang membentuk kebudayaan Batak. Ppengaruh dari India dapat dilihat dari elemen-elemen kepercayaan seperti asal-usul dunia, mitos penciptaan, keberadaan jiwa, bahwa jiwa tetap ada sekalipun orang telah meninggal dan sebagainya.
Dalam mitologi Batak dunia dapat dibagi menjadi tiga tinggkat yaitu dunia atas, yang disebut Banua Ginjang, dunia tengah yang disebut Banua Tonga dan dunia bawah tanah yang disebut Banua Toru. Dunia tengah merupakan tempat manusia hidup, juga merupakan perantara antara dunia atas dan dunia bawah tanah. Dunia atas adalah tempat tinggal para dewata sedangkan dunia bawah tanah adalah tempat tinggal setan-setan dan roh bumi dan kesuburan. Warna yang sering digunakan oleh orang Batak baik dalam peralatan rumah tangga, Hauduk, kain Ulos dan ukiraan kayu adalah warna putih, merah dan hitam merupakan symbol dari ketiga dunia ini. Pencipta dunia dalam mitologi Batak adalah Mulajadi na Bolon (atau Debata Mulajat Nabolon). Dia dibantu dengan sederetan dewa-dewi lainnya, yang dapat dibagi menjadi tujuh tingkat dalam dunia atas. Anak-anaknya merupakan tiga dewata bernama Batara Guru, Soripada dan Mangala Bulan. Ketiganya dikenal sebagai kesatuan dengan nama Debata Sitolu Sada (tiga dewa dalam satu) atau Debata Na Tolu (tiga dewata). Dalam urutan dewata mereka berada dibawah Mulajadi Na Bolon.
Diceritakan pula bahwa Mulajadi Na Bolon telah mengirim putrinya Tapionda ke bumi ke kaki gunung Pusuk Buhit. Tapionda kemudian menjadi ibu raja yang pertama di Batak. Dewa lain yang penting adalah Debata Idup (dewa kehidupan) dan Pane Na Bolon yang memimpin dunia tengah. Banyak dewa-dewi lain yang juga masih sekerabat dengan dewa-dewi Hindu di India. Antara lain Boraspati Ni Nato dan Boru Saniang Naga. Selain itu juga ada roh-roh yang mendiami danau, sungai dan gunung. Dalam kepercayaan animism Batak tradisional, semua dewa-dewi ini masih dipercayai disamping roh-roh dan jiwa leluhur.
c. Mite Nenek Moyang Suku Bangsa Batak Kuno
Telur kosmis (Hiranyagharba) yang di dalamnya kosmis diciptakan. Keseluruhan bangsa Batak sama dengan manisfestai ketiga Dibata (Debata Na Tolu). Tidak ada perbedaan anatara bangsa dan Dibata. Bangsa tidak bisa terpisah dengan Debata dan Debata tidak bisa terpisah dengan bangsa. Bangsa Batak turun dari Debata Na Tolu. Pohon kosmis mempunyai nama-nama, misalnya; Sitompul, Sudung di langit atau Simanualang dan lain sebagainya. Dalam banyak agama primitif, pikiran tentang pohon kosmis itu diadakan untuk menandakan titik tolak alam semesta ini, tempat dewa-dewa turun, dan juga dianggap sebagai alat yang dapat dipergunakan oleh manusia untuk naik ke surga – tangga anatara bumi dan surga. Berikut permulaan nenek moyang Suku Batak:
- Yang pertama Batara guru Doli: Batara guru Panungkunan. Dialah orang yang selalu menjadi tempat meminta nasehat dan petunjuk oleh orang Batak. Kadang-kadang ia juga disebut sebagai Batara guru Pandapotan, artinya guru yang tahu/mempunyai adat (aturan-atauran adat). Ia bertempat tinggal di kampung yang terletak di sebelah Utara, ia ditugaskan membawa pemberian persembahan korban-korban yang diberikan dari dunia tengah kepada Debata Na Tolu. Ia mempunyai perahu yang besar, satu barang ulos hitam, dan seekor kuda hitam. Juga ia memiliki batu yang besar yang berbentuk pintu kedunia bawah. Marga sumba, karena ia akan membuka telinga-telinga manusia. Ia juga dihormati seperti putera. Salah satu nenek moyang suku bangsa Batak yang ditugaskan memberikan pengakuan adat dari bangsanya.
- Dari telur ketiga “Tuan Sori Mangaraja”. Dia juga dihormati seperti putera. Ia tidak dapat bersalah, tidak dapat berdosa. Oleh sebab itu ia dihormati sebagai penjaga sawah lading dan juga melindungi anak-anak. Kampungnya terletak disebelah tengah, dan ia mempunyai beberapa barang dan seekor anjing yang berbulu panjang, tujuh buah gondang-gondang dan alat-alat yang sungguh-sungguh. Tanda-tandanya terdiri dari ulos merah, seekor kudah merah dan burung naggar jati, dan memiliki satu keris marganya lontung, sebab ia akan membuka mata manusia. Orang berdoa kepada tuan sori mangaraja, supaya mereka disembuhkan dari penyakit. Ia juga menjaga kesehatan bangsa.
- Dari telur yang keempat keluar Tuan Dipapantinggi dan kerapkali disebut juga “Debata Manggalabulan”, menandai bahwa dari antara dewa-dewa makhluk manusia, Debata Manggalabulanlah yang paling kaya. Ia sering kali mengakibatkan perang dan perselisihan pecah di tengah-tengah bangsa Batak. Ia mempunyai barang-barang keramat. Ia mempunyai sebatang kayu yang disebut sihta na asu yang dibuat menjadi tongkat Batak yang pertama (tunggal panaluan). Tempat tinggalnya di selatan. Ia memiliki satu ekor kuda putih dan satu pisau yang keramat, dan marganya “Sobu”, sebab ia membuka mulut-mulut manusia. Jelas bahwa dari ketiga orang yang baru disebutkan, ini merupakan permulaan nenek moyang bangsa Batak. Mereka sebagai manifestasi dari totalitat keseluruhan suku bangsa Batak Toba. Demikian juga ketiganya merupakan manisfestasi dari Debata Na Tolu sendiri. Warna hitam, merah dan putih adalah warna keramat yang menandai ketiga manifestasi Debata Na Tolu.
- Dari telur yang kelima keluarlah “Debata Asi-asi”. Beliau tidak memiliki kepunyaan apa-apa pun. Tidak ada tanda-tanda atau atribut-atribut lainnya kecuali perasaan kemurahan hati, sebab dia digambarkan sebagai dewa yang bersifat karunia/anugerah. Dalam tafsiran dongeng-dongeng ini, ada yang kurang jelas tentang tanda-tanda seperti yang lainnya. Kemungkinan besar pada aslinya ada tafsiran dari keempat tuan-tuan dari keempat telur tadi dan tarafnya sama. Akan tetapi sebagai akibat dari pembaharuan agama Hindu yang telah memasuki masyarakat Batak kuno maka ketiga dewa yang pertama itu ditafsirkan sebagai dewa yang terpenting. Inilah beberapa penjelasan tentang munculnya orang Batak dan kepercayaan bangsa Batak.
e. Mite Peraturan Adat Batak Kuno
Peraturan adat dipahami sebagai sesuatu yang diberikan/disusun oleh Debata (Allah) sendiri, adat sifatnya keramat dan bila dilanggar maka bahaya akan datang. Oleh karena itu tiap-tiap suku Batak mengajarkan aturan-aturan adat kepada anak laki-laki. Apabila marga atau huta (desa) Batak ditimpa kecelakaan, hal itu berarti peraturan adat dilanggar. Diantara upacara-upacara Batak berhubungan dengan upacara perkawinan, kelahiran, kematian; tapi juga untuk memndirikan rumah yang baru atau kampong yang baru supaya kampong yang didirikan itu, didirikan sesuai aturan-aturan adat. Upacara itu serupa dengan upacara peraturan adat bila dilanggar akan mendatangkan bahaya. Ada upacara yang dilakukan yaitu upacara parmanuhon. Dalam pelaksanaanya seekor ayam dipotong sebagai semacam alat yang dipergunakan Debata untuk meberikan petunjuk-petunjuk kepada orang yang melaksanakan (bisa betina bisa jantan) dan pada biasanya ayam jantan yang dipotong. Dalam upacara parmanuhon itu dipergtunakan;
- Tampian (anduri) yang disebut; Naga Padoha Ni Aji. Bentuknya segi empat. Diletakkan di atas tikar yang dibentangkan diatas lantai di luar rumah. Di atas tampian tersebut gambar ditulis (gambar desa na walu). Tampian tadi menandai laut dari dunia bawah, dan diatas gambar desa na walu tadi menandai dunia tadi menandai dunia tengah.
- Sebuah Ampang (bakul;karo:raga). Bentuknya bersegi empat,tetapi mulutnya bundar dan harus tetap terbuka. Bakul tadi melambangkan Sangiang Naga Langit (yang mnguasai banua/dunia atas) jadi tampian dan bakul tadi menandai ketiga dunia (benua) yang ada menurut kosmologi Batak. Bakul tadi dihiasi dengan boning si tolu rupa (benang tiga warna; putih, merah hitam) yang menunjukkan bahwa bakul tadi diletakkan di atas tampian, hal ini dipahami Batak Kuno bahwa di sini/disitu didapati totalitet tiga dunia atas, tengah, bawah. Mayat ayam yang sudah disembeli diletakkan dalam bakul tadi didalam posisi terbalik (ditungkapkan). Upacara Parmanuhon itu kadang-kadang juga disebut manuk di ampang. Sesudah ayam itu dipotong maka terus dimasukkan kedalam bakul yang posisi ditungkapkan tadi supaya tidak dapat terlihat. Didalam ayam yang sudah dipotong itu dan mengelepar-mengelepar sampai mati. Datu dapat meninjau/menganalisa dari arah-arah/posisi yang ditunjukkan ayaam yang sudah mati itu, datu sudah tahu nasihat-nasihat yang diberikan Debata melalui mayat aayam tadi. Artinya pemahaman Batak kuno, salah satu manifestasi dari Debata masuk kedalam tubuh ayam yang telah dipotong tersebut untuk memberikan petunjuk-petunjuk untuk menyelamatkan bangsa atau marga tersebut.
- Hasea Na Pitu pada orang Batak Kuno, sebagai perlengkapan parmanuhon ada tujuh barang yang berguna pada orang Batak Kuno, yaitu; gelang, cicin (terbuat dari loyang), baja (sopu), minyak kelapa, bunga-bunga, daun sirinh dan anting-anting emas. Bahwa hasea na pitu menandai ketujuh binatang tiara yaitu; matahari, bulan, marit, utarit, mustari, kejora dan zuhar. Upacara parmanuhon dimulai dengan doa-doa yang diucapkan oleh datu-datu partonggo; isi doanya meminta pertolongan dewa-dewa supaya upacara itu diadakan dengan baik sesuai dengan peraturan adat supaya dewa-dewa bersedia mempergunakan ayam yang dipotong nanti untuk memberi petunjuk-petunjuk kepada orang yang melaksanakan upacara itu.
B. Ada beberapa upacara (ritus-ritus) yang dilaksanakan oleh orang Batak kuno
- Pada saat sorang bayi lahir, maka bayi tersebut harus diuloshon (dibalutkan) dengan ulos biasa. Ulos adalah kain Batak dan dianggap pada zaman Batak kuno sebagai salah satu bentuk pohon Kosmis dan pada waktu seseorang diuloshon berarti ia diterimah dalam pohon Kosmis itu.
- Sesudah satu minggu, bayi itu patut dibawa ketepi sungai (Karo; petelayoken) tempat ia dimandikan. Upacara itu menandakan bawa bayi itu sudah enjadi sebgian dari dunia bawa dan dudah diterimah didalam dunia tengah. Tuan Pane Nabolon ( Karo; tuan Banua Koling) menguasai sungai-sungai. Sungai tersebut adalah salah satu bentuk dunia bawah.
- Kemudian diadakan upacara pemberian nama kepada bayi itu, pada umumnya kira-kira umur dua belas tahun, anak laki-laki patut meninggalkan rumah orangtuanya lalu masuk kedalam rumah para laki-laki yang belum menikah. Pada waktu itu orang itu mulai belajar peraturan adat, sesudah itu ada lagi yang patut dilaksanakan yaitu giginya harus kikir (Karo; Kikir) menunjukan pada waktu itu ia sudah masuk kedunia atas.
- Pada waktu ia mati, menurut adat-istiadat baiklah sebatang pohon ditanamkan di atas kuburannya supaya tondi (Karo; Tendi) dapat masuk kembali kedalam pohon Kosmis itu, adalah bagaimana caranya orang Batak individual berhubungan dengan pohon Kosmis itu. tunggal panaluan itu menandai pohon Kosmis.
C. Falsafah Sosial Orang Batak
Selain identitas yang telah dibentangkan di atas, ada juga aspek lain yang sangat perlu diuraikan disini, yang juga merupakan identitas orang Batak, yakni tentang falsafah social orang Batak. Falsafah yang dimaksudkan ialah Dalihan Na Tolu dan Suhi Ni Ampang Na Opat.
- Dalihan Na Tolu (Tungku yang Tiga) Secara harafiah istilah Dalihan Na Tolu bermakna “Tungku yang Tiga” istilah ini diambil dari kebiasaan orang Batak pada masa bersahaja. Dahulu ketika memasak makanan di atas batu yang berjumlah tiga dan tiga-tiganya batu ini persisi seperti segi tiga sama sisi. Istilah itu kemudian diadopsi menjadi symbol yang bermakna filosofis. Bahwa masyarakat Batak diibaratkan sebuah kuali besar, maka yang menjadi tungkunya ialah Dalihan Na Tou itu. Dalihan Na Tou pada masyarakat Batak adalah asas system kekerabatan dan menjadi asas pula untuk semua aktivitas, khususnya aktivitas yang berlatih dengan adat. Artinya apa pun aktifitas masyarakat Batak tidak boleh tidak harus berasaskan kepada nilai falsafah yang terkandung pada nilai Dalihan Na Tolu, yang disingkat dengan DNT. DNT inilah yang dijadikan sebagai rujukan dalam bersikap dan bertindak dalam kehidupan, khususnya sesama orang Batak. DNT tumbuh dilatar belakangi karena adanya krisis social kekerabatan pada generasi ketiga setelah si raja Batak dimana pernah terjadi peristiwa teburuk secara beruntun yaitu peristiwa masumbang atau kawin incest antara tuan Sariburata dengan saudari kandungnya (iboto) yang bernama si Boru Paremen. Konsep awal dari DNT itu bertujuan untuk membentuk system kekerabatan yang patuh terhadap adat yang sudah dirintis oleh si raja Batak sekaligus menggunakan penetapan hukum kepada yang melanggarnya.
- Suhi Ni Ampang Na Opat (sudut Ampang yang empat) Secara harafiah Suhi Ni Ampang Na Opat berarti sudut Ampang yang empat, dari kata “ampang” yang dalam bahasa Batak bermakna yang hamper serupa dengan bentuk bakul, ampang ini memiliki empat “suhl” (sudut). Dari ampang yang bersegi empat indah kemudian diadopsi menjadi symbol falsafah “suhi ni ampang na opat” (disingkat dengan SUNANO). Komponennya ialah; ‘‘hormat marhula-hula’’ (hormat kepada si pemberi istri), “elek marboru” (bersikap membujuk kepada si pengambil istri), “manat mardongan tubu” (hati-hati sesama kakak adek atau sesama satu marga) dan hormat “marraja” (hormat kepada raja). Bagi agama Malin (agama Batak) filsafat hidup SUNANO-lah hingga sekarang masih diamalkan dalam kehidupan social maupun dalam kehidupan keagamaan dan bukan falsafah DNT. Bagi mereka menghormati raja secara langsung bermakna menghormati ketua-ketua atau pemimpin agama yang masih hidup sampai sekarang. Sedangkan mengormati raja secara tidak langsung diwujudkan dengan menyebutkan semua nama-nama “raja yang sudah tiada” dalam tono-tongo (doa-doa) setiap kali upacara keagamaan dilaksanakan, seperti nama raja Uti, Simarimbulubosi, Sisingamangaraja, dan raja Nasiak bagi dalam penerapan lainnya, raja tetap didaulat sebagai orang yang penting dan utama dan bukan diibaratkan seperti sihal-sihal yang sewaktu-waktu saja diperlukan.dalam upacara musyawarah dan pesta perkawinan dan acara lainnya posisi raja tetap disejajarkan dengan hula-hula, boru, dan dongansabatuha. Khusus dalam upacra keagamaan , semua yang termasuk pemimpin agama, baik pusat maupi cabang, mereka mendapatkan “jambar” (bagian) tersendiri sebagai wujud penghormatan kepada mereka. Penghormatan seperti ini dapat dilihat pada upacara pelaksanaan keagamaan sipaha lima dimana pada masa itu dilakukan pemotongan kerbau sebagai kurban.
Masyarakat Batak memiliki falsafah, asas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam kemasyarakatannya yakni yang dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu. Berikut penyebutan Dalihan Natolu menurut keenam puak Batak
- Hulahula/Mora adalah pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub-suku Batak) sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat kepada Hulahula (Somba marhula-hula).
- Dongan Tubu/Hahanggi disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling menopang, walaupun karena saking dekatnya kadang-kadang saling gesek. Namun, pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun kepada semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga. Diistilahkan, manat mardongan tubu.
- Boru/Anak Boru adalah pihak keluarga yang mengambil isteri dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai 'parhobas' atau pelayan, baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara adat. Namun walaupun berfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek marboru. Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak. Sistem kekerabatan Dalihan na Tolu adalah bersifat kontekstual. Sesuai konteksnya, semua masyarakat Batak pasti pernah menjadi Hulahula, juga sebagai Dongan Tubu, juga sebagai Boru. Jadi setiap orang harus menempatkan posisinya secara kontekstual sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berperilaku 'raja'. Raja dalam tata kekerabatan Batak bukan berarti orang yang berkuasa, tetapi orang yang berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak. Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut Raja ni Hulahula, Raja ni Dongan Tubu dan Raja ni Boru.
Ritul Suci
Pada agama suku Batak
Suku Batak memiliki dua tahun yang besar, pertama; Paringatan Hatututbu ni Tuahan atau sipaha sada. Ritual ini dilangsungkan saat masuk tahun baru Batak, yaitu diawal bulan Maret. Ritual lainnya bernama Pameleon Bolon atau sipaha lima, yang dilangsungkan antara bulan Juni-Juli. Ritual Sipaha lima ini dilakukan setiap bulan ke lima dalam kalender Batak.
#Demikian sedikit ulasan mengenai suku Batak, semoga bermanfaat
Daftar Pustaka:
Ginting, E.P. 2009. Agama Suku. Bandung: Jurnal Info Media
Kal2017pa4aklmk3.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar